Minggu, 17 November 2013

Tamyiz

                Tamyiz adalah isim yang dinashabkan yang menjelaskan dzat samar yang ada sebelumnya
 seperti Contoh ucapanmu :
 "تَصَبَّبَ زَيْدٌ عَرَقًا",(Yang Maknanya zaid bercucuran keringatnya)
 تَفَقَّأَ بَكْرٌ شَحْمًا. (Yang Maknanya Bakar menurunkan lemak tubuhnya)
 .َطَابَ مُحَمَّدٌ نَفْسًا"(Yang Maknanya Muhammad baik orangnya)ِ
.شْتَرَيْتُ عِشْرِينَ غُلَامًا.(Yang Maknanya Aku telah membeli 20 budak)
"مَلَكْتُ تِسْعِينَ نَعْجَةً"(Yang Maknanya aku memiliki 90 ekor kambing)
 "زَيْدٌ أَكْرَمُ مِنْكَ أَبًا"(Yang Maknanya ayah zaid lebih mulia darimu)
 "أَجْمَلُ مِنْكَ وَجْهًا"(Yang Maknanya ia lebih cantik wajahnya darimu)

 Penjelasan Tambahan َ وَلَا يَكُونُ إِلَّا نَكِرَةً, وَلَا يَكُونُ إِلَّا بَعْدَ تَمَامِ اَلْكَلَامِ.


 Kesimpulan:

 Tamyiz tidak terjadi kecuali harus dengan isim nakirah dan tidak terjadi pula kecuali dengan kalam yang sempurna

Isim Kana


 KAANA DAN SAUDARA-SAUDARANYA 


 PENGAMALAN KANA DAN SAUDARA-SAUDARANYA


 تَرْفَعُ كَانَ الْمُبْتَدَا اسْمَاً وَالْخَبَرْ تَنْصِبُهُ كَكَانَ سَيِّدَاً عُمَرْ

               Kaana merofa’kan pada Mubtada’ sebagai isimnya, dan kepada Khabar yakni menashabkannya, demikian ini seperti contoh: Kaana sayyidan ‘Umaru (adalah seorang tuan siapa Umar)

                 LAFAZH-LAFAZH SAUDARA KANA كَكَانَ ظَلَّ بَاتَ أَضْحَى أَصْبَحا أَمْسَى وَصَارَ لَيْسَ زَالَ بَرِحَا
Adalah seperti Kaana (merofa’kan pada Mubtada’ sebagai isimnya dan menashobkan khobarnya) yaitu lafazh: Zholla (menjadi di siang hari), Baata (menjadi di malam hari), Adh-ha (menjadi diwaktu dhuha), Amsaa (menjadi diwaktu sore), Shooro (menjadi), Laisa (tidak). Zaala (senantiasa), Bariha (senantiasa) فَتىء وَانْفَكَّ وَهذِي الأَرْبَعَهْ لِشِبْهِ نَفْي أوْ لِنَفْي مُتْبَعَهْ Fati-a (senantiasa) Infakka (senantiasa). Adapun yang empat ini (Zaala Bariha Fati-a Infakka) harus diikutkan pada nafi atau serupa nafi

 وَمِثْلُ كَانَ دَامَ مَسْبُوْقَاً بِمَا كَأَعْطِ مَا دُمْتَ مُصِيْبَاً دِرْهَمَاً 
               Dan semisal Kaana (merofa’kan pada Mubtada’ sebagai isimnya dan menashobkan khobar sebagai khobarnya) yaitu lafazh: Daama yg didahului dengan Maa mashdariyyah-zharfiyyah, seperti contoh: A’thi..! maa dumtu mushiiban dirhaman (berikan ia uang selama kamu punya)
 وَغَيْرُ مَاضٍ مِثْلَهُ قَدْ عَمِلاَ إِنْ كَانَ غَيْرُ الْمَاضِ مِنْهُ اسْتُعْمِلاَ Selain bentuk fi’il madhi (kaana dan sdr-nya) jelas beramal semisal fi’il madhinya, apabila selain bentuk fi’il madhinya dipergunakan.

 KHOBAR KANA DALAM PELETAKANNYA وَفِي جَمِيْعهَا تَوَسُّطَ الْخَبَرْ أَجِزْ وَكُلٌّ سَبْقَهُ دَامَ حَظَرْ

Perbolehkanlah..! menengahi khobar (antara amil dan isimnya) pada semua kanaa dan saudara-saudaranya. Dan setiap mereka (nuhat/arabiy) melarang mendahulukannya khobar pada Daama. كَذَاكَ سَبْقُ خَبَرٍ مَا الْنَّافِيَهْ فَجِيء بِهَا مَتْلُوَّةً لاَ تَالِيَهْ Demikian juga dilarang mendahukan khobar pada maa nafi, maka jadikanlah ia (maa nafi) sebagai yang di-ikuti bukannya yang mengikuti وَمَنْعُ سَبْقِ خَبَرٍ لَيْسَ اصْطُفِي وَذُو تَمَامٍ مَا بِرَفْعٍ يَكْتَفِي Pelarangan mendahulukan khobar pada “Laisa” adalah hukum yang dipilih. Saudara-saudara Kaana yang Tam, yaitu setiap yang cukup dengan marfu’nya saja (isimnya)

                FI’IL NAQISH DAN FI’IL TAM وَمَا سِوَاهُ نَاقِصٌ وَالْنَّقْصُ في فَتِىءَ لَيْسَ زَالَ دَائِمَاً قُفِي Dan saudara kaana selain yg Tam, disebut Naqish. Sedangkan Naqish untuk lafazh “Fati-a”, “Laisa” dan “Zaala” selamanya diikuti/ditetapkan sebagai Naqish PERIHAL MA’MUL KHOBAR DIDAHULUKAN وَلاَ يَلِي العَامِلَ مَعْمُولَ الخَبَرْ إِلَّا إِذَا ظَرْفاً أَتَى أَوْ حَرْفَ جَرّ Ma’mulnya khobar tidak boleh mengiringi amil … kecuali bilamana ma’mul tsb berupa zhorof atau jar-majrur وَمُضْمَرَ الْشانِ اسْمَاً انْوِ إنْ وَقَع مُوْهِمُ مَا اسْتَبَانَ أَنَّهُ امْتَنَعْ mengiralah dhomir syaen sebagai isimnya kaana dan saudaranya, apabila terdapat anggapan benar dari kalam arab yang nyata-nyata dilarang (ma’mul khobar mengiringi kaana cs, pada bait sebelumnya)
. KAANA ZAIDAH وَقَدْ تُزَادُ كَانَ فِي حَشْوٍ كَمَا كَانَ أَصَحَّ عِلْمَ مَنْ تَقَدَّمَا terkadang kaana ditambahi (hanya zaidah) diantara dua kalimah (yg mutalazim) contoh: MAA KAANA ASHOHHA ILMA MAN TAQODDAMAA “alangkah shahnya ilmunya orang-orang terdahulu.

              KAANA DIBUANG وَيَحْذِفُوْنَهَا وَيُبْقُوْنَ الْخَبَر وَبَعْدَ إِنْ وَلَوْ كَثِيْرَاً ذَا اشْتَهَرْ Mereka (ulama nuhat, orang arab) membuang kaana (berikut isimnya) dan menyisakan khobarnya. Demikian ini sering terjadi dan banyak, ketika kaana berada setelah “in syarthiyah” atau “lau syarthiyah”. MAA MENGGANTIKAN KAANA وَبَعْدَ أَنْ تَعْوِيْضُ مَا عَنْهَا ارْتُكِبْ كَمِثْلِ أَمَّا أَنْتَ بَرًّا فَاقْتَرِبْ Sesudah huruf “AN masdariyah” menggantikannya Maa dari Kaana diberlakukan, semisal contoh: AMMA ANTA BARRAN FAQTARIB “jadilah dirimu orang baik kemudian mendekatlah (pd-Nya) “ PEMBUANGAN KAF PADA LAFAZH YAKUN وَمِنْ مُضَارِعٍ لِكَانَ مُنْجَزِمْ تُحُذَفُ نُوْنٌ وَهْوَ حَذْفٌ مَا الْتُزِمْ Dari fi’il mudhari’nya kaana yg dijazmkan (YAKUN) huruf Nun-nya dibuang, pembuangan ini tidaklah musti (boleh).

Sabtu, 16 November 2013

Naibul Fail

          Naibul fa’il adalah isim marfu yang terletak setelah fi’il majhul dan menunjukkan sesuatu yang dikenakan perbuatan. Naibul fa’il disebut naibul fa’il karena pada asalnya naibul fa’il adalah maf’ul bih (objek), namun karena fa’ilnya dihilangkan, maka maf’ul bih tadi menggantikan posisi fa’il, sehingga disebut naibul fa’il (pengganti fa’il)
 Contoh : كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ (kutiba alaikumusshiyaamu)=diwajibkan atas kalian berpuasa
 Kata الصِّيَامُ isim mufrod, marfu dengan dhommah, sebagai naibul fa’il karena setelah fi’il majhul Asalnya كَتَبَ اللهُ عَلَيْكُمُ الصِّيَامَ (kataballahu alaikumusshiyaama)=Allah mewajibkan atas kalian berpuasa Kata الصِّيَامَ isim mufrod, manshub dengan fathah, sebagai maf’ul bih
               Perbedaan yang mencolok dengan fa’il, jika fa’il didahului fi’il ma’lum, adapun naibul fa’il didahului fi’il majhul. Sama halnya dengan fa’il, naibul fa’il dapat berupa Isim dzhohir (bukan dhomir) Contoh : قُرِأَ الْكِتَابُ (qurial kitaabu)=buku dibaca Kata الْكِتَابُ isim mufrod, marfu dengan dhommah sebagai naibul fa’il karena terletak setelah fi’il majhul. Isim dhomir خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ (khuliqo min maain daafiqin)=dia diciptakan dari air yang dipancarkan Kata خُلِقَ mengandung dhomir هو yang merupakan naibul fa’il dari fi’il majhul di atas. Dari hal ini menunjukkan fi’il majhul mempunyai tashrif lughowi sebagaimana dengan fi’il ma’lum. Adapun perubahannya sebagaimana fi’il ma’lum, namun dimajhulkan (cara memajhulkan fi’il ma’lum sudah dibahas pada pelajaran sebelumnya).

 Ketentuan-ketentuan naibul fa’il

 1. Naibul fa’il selalu marfu dan terletak setelah fi’il majhul, baik secara langsung atau diselingi kata lain. Contoh : قُرِأَ الْكِتَابُ (qurial kitaabu)=buku dibaca كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ (kutiba alaikumusshiyaamu)=diwajibkan atas kalian berpuasa
 2. Jika naibul fa’il berupa isim mufrod, mutsanna atau jamak, maka fi’il majhulnya tetap dalam keadaan    mufrod.      
      Contoh : قُتِلَ كَافِرٌ (qutila kaafirun)=seorang kafir terbunuh قُتِلَ كَافِرَانِ (qutila kaafirooni)=dua orang kafir      terbunuh قُتِلَ كَافِرُوْنَ (qutila kaafiruuna)=para orang kafir terbunuh
 3. Jika naibul fa’il berupa isim muannats atau mudzakkar, maka fi’ilnya juga harus muannats atau            mudzakkar. Contoh : كُتِبَتْ رِسَالَةٌ (kutibat risaalatun)=surat ditulis
  4. Fi’il wajib muannast jika
      • Naibul fa’il berupa isim dhohir yang merupakan muannast haqiqi yang bersambung dengan fi’il
         Contoh : لُقِبَتْ فَاطمَةُ بِالزَّهْرَاءِ (luqibat faatimatu bizzahrooi)=fatimah diberi gelar azzahro
      • Naibul fa’il berupa dhomir yang kembali kepada isim muannast
         Contoh : وَ اِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ (wa ilassamaai kaifa rufi’at)=Dan langit, bagaimana ia ditinggikan. Dalam           kata رُفِعَتْ terdapat dhomir هي yang merupakan kata gantiالسَّمَاء. 5

. Fi’il boleh muannast atau mudzakkar jika
 • Naibul fa’il berupa isim muannast haqiqi yang terpisah dari fi’ilnya atau diselingi oleh isim yang lain.
    Contoh : قُتِلَ فِي السِّجْنِ سَارِقَةٌ (qutila fissijni saariqoh)=pencuri perempuan dibunuh di penjara
 • Naibul fa’il berupa muannats majazi
    Contoh : رُفِعَتِ السَّمَاءُ /رُفِعَ السَّمَاءُ (rufi’atissamaau/rufi’assamaau)=langit ditinggikan
 • Naibul fa’il berupa jama’ taksir Contoh : أُقِيْمَ الْمَصََانِعُ/أُقِيْمَتِ الْمَصََانِعُ (uqiimul mashooni’u/uqiimatil          mashooniu)=bangunan-bangunan ditegakkan 

 Catatan : 
         Naibul fa’il pada dasarnya adalah maf’ul bih, sehingga ketika terdapat fi’il muta’addi yang membutuhkan dua maf’ul bih (objek), maka maf’ul bih pertama menjadi naibul fa’il, sedangkan maf’ul bih kedua tetap menjadi maf’ul bih.
 Contoh : أَعْطَى مُحَمَّدٌ الْفَقِيْرَ ثَوْبًا (a’tho muhammadun alfaqiiro tsauban)=Muhammad memberikan orang fakir baju menjadi أُعْطِيَ الْفِقِيْرُ ثَوبًا (u’thiyal faqiiru tsauban)=orang fakir diberikan baju

Dhorof

Dhorof dibagi menjadi Dua macam:

 A. Dhorfu Makan (الظَرْفُ الْمَكَانُ)
               Yaitu Dhorof yang membahas tentang posisi-posisi Tempat dalam Bahasa Arab. Beberapa Dhorof Makan dapat Anda lihat  berikut: Dhorof Makan
1 أَمَامَ Amaama Di Depan
2 وَرَاءَ Waroo a Di Belakang
3 جَانِبَ Janiba Di Samping
4 عَلَي ‘ala Di Atas (nempel)
5 فَوْقَ Fauqo Di Atas (Tidak Nempel)
6 تَحْتَ Takhta Di Bawah
7 بَيْنَ Baina Di Antara

 B. Dhorfu Zaman (الظَّرْفُ الزَّمَانُ)
                Yaitu Dhorof yang membahas tentang posisi-posisi Waktu dalam Bahasa Arab. Beberapa Dhorof Makan dapat Anda lihat  berikut: Dhorfu Zaman
 1 قَبْلَ Qobla Sebelum
 2 بَعْدَ Ba’da Sesudah

Mubtada Khobar

Mubtada' (المبتدأ) 

               Mubtada' adalah isim marfu' yang terletak di awal kalimat.
 Misal:  (الرجل مسلم) (Ar-rojulu muslimun) = Orang itu muslim  (الرجلان مسلمان) (Ar-rojulaani muslimaani) = Dua orang itu muslim  (الرجال مسلمون) (Ar-rijaalu muslimuuna) = Mereka itu muslim

 Keterangan:
            Perhatikan bahwa kata pertama pada ketiga contoh kalimat di atas (yaitu : Ar-rojulu,Ar-rojulaani, Ar-rijaalu) adalah mubtada'. Setiap mubtada' harus marfu'.

           Umumnya mubtada' terletak di awal kalimat, namun terkadang tidak (pada kasus-kasus tertentu). Secara umum juga, mubtada' itu ma'rifah (bukan nakirah), seperti pada ketiga contoh di atas, mubtada'-mubtada'nya ma'rifah dengan tanda adanya alif laam. Kecuali pada kasus-kasus tertentu mubtada' bisa nakirah.

 Khobar Mubtada' (خبر المبتدأ)

             Khobar adalah setiap kata atau kalimat yang menyempurnakan makna mubtada.
 Misalnya seperti pada kalimat di atas, (yaitu muslimun,muslimaani, dan muslimuuna), ketiga kata tersebut adalah khobar, yang menyempurnakan makna mubtada'. Seandainya tidak ada khobar tersebut, maka kalimat di atas tidak akan dipahami maksudnya.

               Di dalam bahasa Indonesia, setiap kalimat minimal harus berpola S P (Subjek Prediket), bisajuga S P O atau S P O K. Masih ingat pelajaran bahasa Indonesia kan? :) Nah, di dalam bahasa Arab, kalau ada mubtada' maka khobar harus ada, polanya M K (Mubtada' Khobar),kalau tidak ada khobar maka belum menjadi kalimat yang sempurna. Paham?

 Kaedah Khobar:

 1. Khobar harus sesuai dengan mubtada' dalam hal jumlah (mufrod, mutsanna, ataujama'nya). Bingung?       Kalau bingung, coba baca pelajaran sebelumnya ya. Atau bisa tanya di bagian komentar. Lanjut? OK!     Misalnya pada contoh dii atas, jika mubtada'nya mufrod (seperti Ar-rojulu), maka khobarnya pun harus mufrod, yaitumuslimun. Jika mubtada'nya mutsanna (seperti muslimaani), maka khobarnya pun harus mutsanna, yaitu muslimaani. Jika mubtada'nya jama' (sepertiAr-rijaalu), maka khobarnya pun harus jama', yaitu muslimuuna. Sudah paham sekarang?

2. Khobar harus sesuai dengan mubtada' dalam hal jenis (mudzakkar atau muannats nya).
    Misalnya, Jika mubtada'nya mudarrisah (pengajar wanita) pada kalimat (المدرسة حاضرة) (Al-Mudarrisatu Hadiroh) = Pengajar wanita itu datang. Maka khobarnya harus muannats juga yaitu حاضرة(Haadiroh, bukan Haadir).

Jumat, 15 November 2013

Bab Fail

FAA’IL (subjek pekerja)

 HUKUM I’ROB FA’IL ROFA’

 الْفَاعِلُ الَّذِي كَمَرْفُوعَيّ أَتَى زَيْدٌ مُنِيْرَاً وَجْهُهُ نِعْمَ الْفَتَى

              Fa’il adalah seperti kedua lafazh yg dirofa’kan dalam contoh: “ATAA ZAIDUN MUNIIRON WAJHUHU NI’MAL FATAA = zaid datang dengan berseri-seri wajahnya seorang pemuda yg beruntung” Yakni,
 (1). Fa’il yg dirofa’kan oleh fi’il mutashorrif atau oleh fi’il jamid
 seperti contoh “ATAA ZAIDUN dan NI’MAL FATAA”.
 (2). Fa’il yg dirofa’kan oleh syibhul fi’li/serupa pengamalan fi’il
seperti contoh: MUNIIRON WAJHU HU.

 HUKUM POSISI FA’IL ADA SETELAH FI’IL

 وَبَعْدَ فِعْل فَاعِلٌ فَإِنْ ظَهَرْ فَهْوَ وَإِلاَّ فَضَمِيْرٌ اسْتَتَرْ

           Faa’il adanya setelah Fi’il, maka jika nampak itulah Fa’ilnya (berupa Isim Zhahir atau Dhamir Bariz) dan jika tidak nampak maka Fa’ilnya berupa Dhamir yg tersimpan (dhamir mustatir).
 HUKUM FA’IL ZHOHIR BENTUK DUAL ATAU JAMAK FI’ILNYA TETAP BENTUK MUFROD وَجَرِّدِ الْفِعْلَ إِذَا مَا أُسْنِدَا لاِثْنَيْنِ أَوْ جَمْعٍ كَفَازَ الْشُّهَدَا Kosongkanlah Kalimah Fi’ilnya (kosong tanpa tanda dhamir) apabila ia dimusnadkan/disandarka pada Fa’il Zhohir Mutsanna ataupun Jamak,
contohnya seperti: “Faaza as-Syuhada = Jayalah para Syuhada” FAA’IL DARI FI’IL YG DIBUANG وَقَدْ يُقَالُ سَعِدَا وَسَعِدُوا وَالْفِعْلُ لِلْظَّاهِرِ بَعْدُ مُسْنَدُ Dan terkadang diucapkan “SA’IDAA” juga “SA’IDUU” (menetapkan alif atau wawu sebagai huruf tanda tatsniyah atau jamak, bukan sebagai fa’il isim dhamir) beserta Fi’ilnya tetap menjadi Musnad bagi fa’il Isim Zhahir setelahnya. (contoh: “SA’IDAA AT-THALIBAANI = dua siswa berbahagia” atau SA’IDUU AT-THULLAABU = para siswa berbahagia). demikian menurut sebagian lahjah orang Arab alif atau wawu difungsikan sebagai huruf tanda tatsniyah dan jamak seperti huruf TA’ tanda mu’annats. sebagaimana mereka mengatakan AKALUUNII AL-BARAAGHITSU “kutu-kutu itu memakanku”.
           Dan lain lagi menurut mayoritas, kalam seperti itu tetap menfungsikan alif dan wawu isim dhamir sebagai Fa’ilnya, sedangkan isim zhahir setelahnya sebagai badal bagi isim dhamir atau pula sebagai mubtada’ yg diakhirkan. Contoh firman Allah: وَأَسَرُّوا النَّجْوَى الَّذِينَ ظَلَمُوا Dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka (al-Anbiyaa’ : 3) ثُمَّ عَمُوا وَصَمُّوا كَثِيرٌ مِنْهُمْ kemudian kebanyakan dari mereka buta dan tuli (lagi). (al-Maa-dah : 71) وَيَرْفَعُ الْفَاعِلَ فِعْلٌ أضْمِرَا كَمِثْلِ زَيْدٌ فِي جَوَابِ مَنْ قَرَا Kalimah Fi’il yg tersimpan merofa’kan Faa’il, adalah semisal contoh : “ZAIDUN” (takdirannya QORO-A ZAIDUN = Zaid membaca) pada jawaban pertanyaan: MAN QORO-A? = siapa yg membaca? Faa’il ada yg dirofa’kan oleh Fi’il yg disimpan. Baik penyimpanan fi’il itu bersifat jawazan, semisal menjadi jawab Istifham sebagaimana contoh yg diangkat oleh Mushannif dalam bait diatas, atau menjadi jawab Nafi seperti contoh “MAA QORO-A HU AHADUN” (seorangpun tidak membacanya) maka dijawab “BALAA ZAIDUN ” (takdirannya BALAA QORO’A HU ZAIDUN = ya… zaid telah membacanya).
 Contoh Firman Allah Swt: وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, (az-Zukhruf : 87)
 Atau penyimpanan fi’il itu bersifat wujuban, semisal faa’ilnya jatuh sesudah IN syarthiyyah atau IDZA syarthiyyah.
 Contoh “IN DHO’IIFUN ISTANSHURUKA FANSHURHU!” (jika seorang yg lemah yakni minta tolong kepadamu maka tolonglah!) lafazh DHO’IIFUN manjadi faa’il dari fi’il yg wajib dibuang, takdirannya ISTANSHURUKA DHO’IIFUN.

 Contoh Firman Allah: إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ jika seorang meninggal dunia …. (An-Nisaa’ 176) إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ Apabila langit terbelah (Al-Insyiqaaq :1) PERIHAL TA TANITS SAKINAH/TA SUKUN TANDA MUANNATS
PADA KALIMA FI’IL وَتَاءُ تَأْنِيْثٍ تَلِي الْمَاضِي إِذَا كَانَ لأنْثَى كَأَبَتْ هِنْدُ الأَذَى Huruf Ta’ tanda Muannats mengiringi Fi’il Madhi bilamana dimusnadkan kepada Muannats. Seperti contoh: ABAT HINDUN AL-ADZAA = Hindun menghindari hal yg merugikan

.              Apabila Fi’il Madhi dimusnadkan kepada Muannats, maka diberi Ta’ sukun tanda muannats sebagai penujukan bahwa Faa’ilnya Muannats. Baik Muannats Hakiki sebagaimana contoh dalam bait diatas oleh mushannif. Ataupun Muannats Majazi, contoh: THOLA’AT ASY-SYAMSU = Matahari telah terbit. وَإِنَّمَا تَلْزَمُ فِعْلَ مُضْمَرِ مُتَّصِلٍ أَوْ مُفْهِمٍ ذَاتَ حِرِ Sesungguhnya Ta’ Ta’nits tsb hanya diwajibkan pada kalimah Fi’il yg punya Faa’il Dhamir Muttashil, atau Faa’il Zhahir Muttashil yg memberi pemahaman memiliki farji (Muannats Haqiqi) Perihal tanda muannats/TA ta’nits pada kalimah Fi’il tsb sebagaimana Bait diatas adalah Lazim/wajib.
Contoh TA tanits lazim/wajib:
1. Faa’ilnya berupa DHAMIR muttashil / mustatir yg kembali pada muannats baik haqiqi ataupun majazi. Contoh faa’il dhamir kembali pada muannats Haqiqi : HINDUN QOOMAT = Hindun berdiri, HINDAANI QOOMATAA = dua Hindun berdiri.
 Contoh firman Allah: فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: (Ali Imran : 36)
 Contoh faa’il dhamir kembali pada muannats Majazi: AS-SYAMSU THOLA’AT = matahari terbit. AL-’AINAANI NAZHOROTAA = dua mata melihat.
 Contoh firman Allah: كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir (Al Baqarah 261)

 2. Faa’ilnya berupa Isim Zhahir Muannats Haqiqi yg muttashil/b ersambung langsung.
Contoh: QOOMAT HINDUN = Hindun berdiri, QOOMAT AL-HIDAANI = dua Hindun berdiri, QOOMAT AL-HINDAATUN = banyak Hindung berdiri.
 Contoh Firman Allah: وَقَالَتِ امْرَأَتُ فِرْعَوْنَ Dan berkatalah isteri Fir’aun:… (alQashash : 9)

 Selain dua parameter diatas maka ta ta’nits dihukumi Jawaz, contoh :
1. Faa’ilnya berupa DHAMIR munfashil MAA QOOMA ILLA HIYA =Tidak berdiri kecuali dia (lebih baik tanpa ta’ ta’nits)
 2. Faa’ilnya berupa Isim Zhahir Muannats Majazi,
contoh: THOLA’AT AS-SYAMSU = Matahari telah terbit. (boleh memakai ta’ ta’nits atau tidak). Contoh Firman Allah : Dengan memakai ta’ ta’nits: فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ maka tidaklah beruntung perniagaan mereka (AlBaqarah:16) Tanpa Ta’ ta’nits: وَجُمِعَ الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ dan matahari dan bulan dikumpulkan (al-Qiyaamah:9)

 وَقَدْح يُبِيْحُ الْفَصْلُ تَرْكَ الْتَّاءِ فِي نَحْوِ أَتَى الْقَاضِيَ بِنْتُ الْوَاقِفِ
 Terkadang Fashl itu (pemisah antara fi’il dan Faa’il yg muannats haqiqi) membolehkan meninggalkan TA tanda muannats (tanpa TA pada fi’ilnya) dalam contoh: “ATAA AL-QAADHIYA BINTUL-WAAQIFI” = “putri seorang yg menetap itu mendatangi qodhi/hakim” (yakni, lebih baik pakai TA manjadi “ATAT AL-QAADHIYA BINTUL-WAAQIFI”) 

 KET:
             Apabila antara kalimah Fi’il dan Faa’ilnya yg muannats haqiqi tersebut terdapat Fashl/pemisah yg selain lafazh ILLA. Maka kalimah Fi’ilnya boleh tanpa memakai TA tanda muannats namun yg lebih baik dengan tetap memakai TA tanda muannats.
 Contoh sebagaimana bait diatas: boleh “ATAA” yang terbaik: “ATAT”. وَالْحَذْفُ مَعْ فَصْلٍ بِإِلاَّ فُضِّلاَ كَمَا زَكَا إِلاَّ فَتَاةُ ابْنِ الْعَلاَ Membuang TA tanda muannats bersamaan adanya Fashl dengan ILLA, adalah diutamakan. Seperti contoh: MAA ZAKAA ILLA FATAATU IBNIL-ALAA” = “tidak seorang yg baik kecuali gadis putri Ibnul-Alaa. KET: Apabila antara kalimah Fi’il dan Faa’il muanntas tsb terdapat Fashl/pemisah yg berupa ILLA, maka menurut Jumhur Nuhat tidak boleh menetapkan TA tanda muannats.
Contoh MAA QAAMA ILLA HINDUN dan MAA THALA’A ILLA AS-SYAMSU, maka tidak boleh mengatakan MAA QAAMAT ILLA HINDUN atau MAA THALA’AT ILLA AS-SYAMSU.

                Kecuali dalam hal ini ada syair arab yg menetapkan TA muannats tapi sangat jarang sekali adanya وَالْحَذْفُ قَدْ يَأْتِي بِلاَ فَصْلٍ وَمَعْ ضَمِيْرِ ذِي الْمَجَازِ فِي شِعْرٍ وَقَعْ Pembuangan TA’ tanits (pada kalimah fi’il yg mempunyai Faa’il Muannats Haqiqi) kadang terjadi dengan tanpa adanya Fashl (lafazh pemisah antara fi’il dan faa’ilnya). Dan pembuangan ini juga pernah terjadi pada sebuah syair, beserta Faa’ilnya berupa Dhamir muannats Majazy. 

KET:
             Pernah terjadi pada Kalam Arab membuang TA ta’nits tanda muannats pada Kalimah Fi’il yg bersambung langsung tanpa Fashl pada faa’il isim zhahir muannats hakiki. Demikian adalah Syadz dan jarang adanya. Contoh hikayah orang arab yg mengatakan: “QOOLA FULAANATUN” = Si Fulan (Pr) berkata”. Juga pernah terjadi hanya khusus pada sebuah syair, membuang TA ta’nits tanda muannats pada Kalimah Fi’il yg mempunyai faa’il dhamir muannats Majazy.
Contoh ” WA LAA ARDHA ABQOLA” = “tidak ada bumi yg menumbuhkan tunas” pada sebuah Syair Jahiliyah oleh Amir Bin Juwain At-tho-iy yg menggambarkan keadaan suatu daerah yg sangat subur gemah ripah loh jinawi: فلا مُزْنَةٌ وَدَقَتْ وَدْقَها # ولا أَرْضَ أبقَلَ إبْقالَها “tidak ada awan yg mencurahkan curahan hujannya dan tidak ada bumi pun yg menumbuhkan tumbuhan tunasnya (seperti daerah ini).

 وَالتَّاءُ مَعْ جَمْعٍ سِوَى الْسَّالِمِ مِنْ مُذَكَّرٍ كَالْتَّاءِ مَعْ إِحْدَى اللَّبِنْ

            Hukum Ta ta’nits (pada kalimah Fi’il) yg menyertai Jamak selain Jamak Mudzakkar Salim adalah seperti hukum Ta ta’nits (pada kalimah Fi’il) yg menyertai mufradnya lafazh “LABINUN” (yaitu lafazh “LABINATUN”=batu bata. Yakni Muannats Majazy)

 KET: 
               Hukum TA ta’nits pada kalimah Fi’il yg mempunyai Faa’il Isim Zhahir Jamak selain Jamak Mudzakkar Salim adalah Jawaz (Boleh membuang ta’ ta’nist atau tidak), seperti hukum TA ta’nits pada kalimah Fi’il yg mempunyai Faa’il isim Zhahir Mu’annats Majazi. Contoh: 
1- Faa’ilnya berupa Jamak Muannats Salim: “JAA-AT MUA’ALIMAATUN” atau “JAA-A MU’ALLIMAATUN” =para pengajar (pr) telah datang.
 2- Faa’ilnya berupa Jamak Taksir: “JAA-A RIJAALUN” atau “JAA-AT RIJAALUN”
Contoh dalam AL-Qur’an memakai Ta’ Ta’nits: لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran (Al-A’rof : 43) Tanpa Ta’ Ta’nits: قُلْ قَدْ جَاءَكُمْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِي .” Katakanlah: “Sesungguhnya telah datang kepada kamu beberapa orang rasul sebelumku (Ali Imran : 183)   3. Termasuk juga Faa’ilnya berupa Ismu Jam’in (Isim Jama’): “JAA-A QOUMUN” atau “JAA-AT QOUMUN” = Kaum telah datang.
 Contoh dalam Al-Qur’an Memakai ta’ ta’nits: فَآمَنَتْ طَائِفَةٌ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَكَفَرَتْ طَائِفَةٌ lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir (ash-Shof:14) Tanpa Ta’ Ta’nits: بَيَّتَ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ غَيْرَ الَّذِي تَقُولُ segolongan dari mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi (An-Nisaa’ : 81) وَالْحَذْفَ فِي نِعْمَ الْفَتَاةُ اسْتَحْسَنُوا لأَنَّ قَصْدَ الْجِنْسِ فِيْهِ بَيِّنُ Ulama Nuhat memandang baik terhadap pembuangan Ta’ ta’nits dalam contoh: “NI’MAL-FATAATU” karena bertujuan jenis nampak jelas didalamnya.

 KET:
             Demikian juga dihukumi Jawaz penggunaan TA ta’nits pada kalimah fi’il golongan NI’MA cs (Af’aalul-Mad-hi aw Af’aaludz-zdimmi) yang Faa’ilnya berupa isim Zhahir Mu’annats baik majazi atau haqiqi. Alasan hukum Jawaz karena Faa’ilnya dimaksudkan sebagai Jenis. diserupakan fi’il yg musnad pada Faa’il Jamak dalam hal subjeknya berbilangan.
 Contoh: NI’MA AL-FATAATU = sebaik-baiknya pemudi (AL dalam lafazh AL-FATAATU sebagai AL jinsiyyah). Boleh membuang ta’ ta’nits karena dipandang baik, namun menetapkan ta’ ta’nits adalah pilihan yg terbaik. POSISI FA’IL وَالأَصْلُ فِي الْفَاعِلِ أَنْ يَتَّصِلاَ وَالأَصْلُ فِي الْمَفْعُولِ أَنْ يَنْفصِلَا Asal penyebutan Faa’il harus Ittishal/bersambung (antara Fi’il dan Faa’ilnya tanpa ada pemisah). Dan asal penyebutan Maf’ul harus Infishal/berpisah (antara Fi’il dan Maf’ulnya dgn dipisah oleh Faa’ilnya). وَقَدْ يُجَاءُ بِخِلافِ الأَصْل وَقَدْ يَجِي الْمَفْعُوْلُ قَبْلَ الْفِعْلِ Terkadang juga didatangkannya dengan Hukum yg menyalaihi Asal, dan terkadang juga Maf’ul disebut sebelum Fi’ilnya.

 KETERANGAN:
           hukum asal Faa’il ada setelah Fi’ilnya. Dan hukum asal Maf’ul berpisah dengan Fi’ilnya yakni berada setelah Faa’il. (FI’IL > FAA’IL > MAF’UL)
 contoh: وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُودَ Dan Sulaiman telah mewarisi Daud (An-Naml : 16) Terkadang membedakan dengan hukum asal, yakni Maf’ul disebut sebelum Faa’ilnya.
 Contoh: إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut (Al-Baqarah : 133) Atau Maf’ul disebut sebelum Fi’ilnya.
 Contoh: فَفَرِيقًا كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا تَقْتُلُونَ maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh? (Al-Baqarah : 87) وَأَخِّر الْمَفْعُولَ إِنْ لَبْسٌ حُذِرْ أَوْ أُضْمِرَ الْفَاعِلُ غَيْرَ مُنْحَصِرْ Akhirkanlah Maf’ulnya! (wajib berada setelah Faa’il) jika ada kesamaran yg harus dihindarkan (demi menjaga ketidakjelasan antara faa’il dan mafulnya) atau Faa’ilnya berupa Dhamir selain yg dimahshur (yg diperkecualikan).

 KETERANGAN :
               Faa’il wajib dikedepankan dan Maf’ul di belakangnya, demikian apabila ditakutkan ada ketidakjelasan antara Faa’il dan Maf’ul, misalkan apabila i’rob antara keduanya samar. Contoh “DHARABA MUSA ‘ISA”. Atau faa’ilnya berupa dhamir selain yg dimahshur contoh: “DHARABTU ZAIDAN” apabila faa’ilnya berupa dhamir yg dimahshur maka wajib diakhirkan, contoh: “MAA DHARABA ZAIDAN ILLA ANA” وَمَا بِإِلاَّ أَوْ بِإِنَّمَا انْحَصَرْ أَخِّرْ وَقَدْ يَسْبِقُ إِنْ قَصْدٌ ظَهَرْ Terhadap suatu (Faa’il atau Maf’ul) yang dimahshur dengan ILLAA atau dengan INNAMAA, akhirkanlah! (diakhirkan dari suatu yg tidak dimahshur).

#              Terkadang suatu (Faa’il atau Maf’ul) yg dimahshur mendahului yg tidak dimahshur, jika maksudnya sudah jelas. KETERANGAN: Salah satu dari Fa’il atau Maf’ul yang dimahshur harus diakhirkan dari bagian yg tidak dimahshur, baik alat mahshurnya menggunakan INNAMA ataupun menggunakan ILLA.
 Contoh mengakhirkan Fa’il yg dimahshur dan mengedepankan Maf’ulnya: “MAA DHARABA AMRAN ILLA ZAIDUN” = tiada yg memukul Amr kecuali hanya Zaid “INNAMA DHARABA AMRAN ZAIDUN” = hanya Zaid saja yg memukul Amr Contoh dlm Al-Qur’an: إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (Faatihir :28) Contoh mengakhirkan Maf’ul yg dimahshur dan mengedepankan Faa’ilnya: “MAA DHARABA ZAIDUN ILLA AMRAN” = Zaid tidak memukul kecuali hanya kepada Amr “INNAMA DHARABA ZAIDUN AMRAN” = Zaid memukul hanya kepada Amr saja Terkadang lafazh yg dimahshur -baik sebagai faa’il atau Maf’uul- dikedepankan dari lafazh yg tidak dimahshur apabila sudah jelas dan nyata mana lafazh yg dimahshur dan mana yang tidak.
               Demikian apabila alat mahshurnya berupa ILLA karena lafazh yg jatuh sesudah ILLA tentunya yg dimahshur. Apabila alat mahshurnya menggunakan INNAMA, maka tidak boleh mengedepankan lafazh yg dimahshur sebab tidak ada kejelasan. 
Contoh boleh mengedepankan Maf’ul yg dimahshur dengan ILLA : “MAA DHARABA ILLA AMRAN ZAIDUN” = Zaid tidak memukul kecuali hanya kepada Amr وَشَاعَ نَحْوُ خَافَ رَبَّهُ عُمَرْ وَشَذَّ نَحْوَ زَانَ نَوْرُهُ الْشَّجَرْ Terkenal penggunaan kalimat seperti: “KHOOFA ROBBAHU ‘UMARU=Umar takut pada Tuhannya” (yakni, mengedepankan Maf’ul yg memuat Dhamir merujuk pada Fa’il di belakangnya). Dan Syadz penggunaan kalimat seperti: “ZAANA NAURUHU ASY-SYAJARO=bunga-bungaan pada pepohonan menghiasi pepohonan” (yakni, mengedepankan Fa’il yg memuat Dhamir merujuk pada Maf’ul di belakangnya).

 KETERANGAN:
                 Apabila pada Maf’ul terdapat dhamir yg merujuk pada Fa’il, maka boleh maf’ul tsb dikedepankan dari Fa’ilnya. Sebab dhamir tsb hanya merujuk ke belakang secara lafzhan/lafazhnya bukan secara rutbatan/tingkatannya, karena status tingkatan/pangkat maf’ul ada dibelakang/dibawah fa’il seperti yg telah dijelaskan pada bait lalu bahwa hukum asal fa’il di depan dan maf’ul dibelakang. Sebaliknya dilarang mengedepankan Fa’il yg memuat dhamir merujuk pada Maf’ul yg dibelakang. sebab dhamir akan merujuk kebelakang secara Lafzhan wa Rutbatan.

bab I'rob

اَلْإِعْرَابُ هُوَ تغيير أَوَاخِرِ اَلْكَلِمِ لِاخْتِلَافِ اَلْعَوَامِلِ اَلدَّاخِلَةِ عَلَيْهَا لَفْظًا أَوْ تَقْدِيرًا. وَأَقْسَامُهُ أَرْبَعَةٌ رَفْعٌ, وَنَصْبٌ, وَخَفْضٌ, وَجَزْمٌ, فَلِلْأَسْمَاءِ مِنْ ذَلِكَ اَلرَّفْعُ, وَالنَّصْبُ, وَالْخَفْضُ, وَلَا جَزْمَ فِيهَا, وَلِلْأَفْعَالِ مِنْ ذَلِكَ اَلرَّفْعُ, وَالنَّصْبُ, وَالْجَزْمُ, وَلَا خَفْضَ فيها. بَابُ مَعْرِفَةِ عَلَامَاتِ اَلْإِعْرَابِ لِلرَّفْعِ أَرْبَعُ عَلَامَاتٍ : الضمة ، والواو وَالْأَلِفُ, وَالنُّونُ فَأَمَّا اَلضَّمَّةُ فَتَكُونُ عَلَامَةً لِلرَّفْعِ فِي أَرْبَعَةِ مَوَاضِعَ فِي اَلِاسْمِ اَلْمُفْرَدِ, وَجَمْعِ اَلتَّكْسِيرِ, وَجَمْعِ اَلْمُؤَنَّثِ اَلسَّالِمِ, وَالْفِعْلِ اَلْمُضَارِعِ اَلَّذِي لَمْ يَتَّصِلْ بِآخِرِهِ شَيْءٌ وَأَمَّا اَلْوَاوُ فَتَكُونُ عَلَامَةً لِلرَّفْعِ فِي مَوْضِعَيْنِ فِي جَمْعِ اَلْمُذَكَّرِ اَلسَّالِمِ, وَفِي اَلْأَسْمَاءِ اَلْخَمْسَةِ, وَهِيَ أَبُوكَ, وَأَخُوكَ, وَحَمُوكَ, وَفُوكَ, وَذُو مَالٍ وَأَمَّا اَلْأَلِفُ فَتَكُونُ عَلَامَةً لِلرَّفْعِ فِي تَثْنِيَةِ اَلْأَسْمَاءِ خَاصَّةً وَأَمَّا اَلنُّونُ فَتَكُونُ عَلَامَةً لِلرَّفْعِ فِي اَلْفِعْلِ اَلْمُضَارِعِ, إِذَا اِتَّصَلَ بِهِ ضَمِيرُ تَثْنِيَةٍ, أَوْ ضَمِيرُ جَمْعٍ, أَوْ ضَمِيرُ اَلْمُؤَنَّثَةِ اَلْمُخَاطَبَةِ. وَلِلنَّصْبِ خَمْسُ عَلَامَاتٍ: الْفَتْحَةُ، وَالْأَلِفُ، وَالْكَسْرَةُ، وَاليَاءُ، وَحَذْفُ النُّونِ. فَأَمَّا الْفَتْحَةُ فَتَكُونُ عَلَامةً لِلنَّصْبِ فِي ثَلَاثَةِ مَوَاضِعَ: فِي الْاِسْمِ الْمُفْرَدِ، وَجَمْعِ التَّكْسِيرِ، وَالْفِعْلِ الْمُضَارِعِ إِذَا دَخَلَ عَلَيْهِ نَاصِبٌ وَلَمْ يَتَّصِلْ بِآَخِرِهِ شَيْءٌ. وَأَمَّا الْأَلِفُ: فَتَكُونُ عَلَامَةً لِلنَّصْبِ فِي الْأَسْمَاءِ الْخَمْسَةِ، نَحْوَ: "رَأَيْتُ أَبَاكَ وَأَخَاكَ" وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ. وَأَمَّا الْكَسْرَةُ: فَتَكُونُ عَلَامَةً لِلنَّصْبِ فِي جَمْعِ الْمُؤَنَّثِ السَّالِمِ. وَأَمَّا الْيَاءُ: فَتَكُونُ عَلَامَةً لِلنَّصبِ فِي التَّثْنِيَةِ وَالْجَمْعِ. وَأَمَّا حَذْفُ النُّونِ فَيَكُونُ عَلَامَةً لِلنَّصْبِ فِي الْأَفْعَالِ الْخَمْسَةِ الْتِي رَفْعُهَا بِثَبَاتِ النُّونِ. الْكَسْرَةُ، وَالْيَاءُ، وَالْفَتْحَةُ. وَلِلْخَفْضِ ثَلَاثُ عَلَامَاتٍ: فَأَمَّا الْكَسْرَةُ: فَتَكُونُ عَلَامَةً لِلْخَفْضِ فِي ثَلَاثَةِ مَوَاضِعَ: فِي الْاِسْمِ الْمُفْرَدِ الْمُنْصَرِفِ، وَجَمْعِ التَّكْسِيرِ الْمُنْصَرِفِ، وَفِي جَمْعِ الْمُؤَنَّثِ السَّالِمِ. وَأَمَّا الْيَاءُ: فَتَكُونُ عَلَامَةً لِلْخَفْضِ فِي ثَلَاثَةِ مَوَاضِعَ: فِي الْأَسْمَاءِ الْخَمْسَةِ، وَفِي التَّثْنِيَةِ، وَالْجَمْعِ. وَأَمَّا الْفَتْحَةُ: فَتَكُونُ عَلَامَةً لِلْخَفْضِ فِي الْاِسْمِ الَّذِي لَا يَنْصَرِفُ. وَلِلْجَزْمِ عَلَامَتَانِ: السُّكُونُ، وَالْحَذْفُ. فَأَمَّا السُّكُونُ فَيَكُونُ عَلَامَةً لِلْجَزْمِ فِي الْفِعْلِ الْمُضَارِعِ الصَّحِيحِ الْآَخِرِ. وَأَمَّا الْحَذْفُ فَيَكُونُ عَلَامَةً لِلْجَزْمِ فِي الْفِعْلِ الْمُضَارِعِ الْمُعْتَلِّ الْآَخِرِ، وَفِي الْأَفْعَالِ الْخَمْسَةِ الْتِي رَفْعُهَا بِثَبَاتِ النُّونِ.

                 Bab Al I’rab I’rab itu adalah berubahnya akhir-akhir kalimat karena perbedaan amil-amil yang masuk atasnya baik secara lafadz atau taqdir. Bagian i’rab itu ada empat, yaitu rafa’, nashab, khofadh atau jar, dan jazm. Setiap isim itu bisa rafa’, nashab, khafad dan tidak bisa jazm Setiap fi’il itu bisa rafa’, nashab, jazm, dan tidak bisa khofadh.
                 Bab Mengenal tanda-tanda I’rab
1. Bagi rafa’ itu ada empat tanda, yaitu dhammah, waw, alif dan Nun
Adapun Dhammah, maka ia menjadi tanda bagi rafa’ pada empat tempat :
1. Pada Isim Mufrad,
2. Jama’ taktsir
 3. Jama’ muannas salim, dan
4. fiil mudhari’ yang tidak bersambung di akhirnya dengan sesuatu
 Adapun waw, maka ia menjadi tanda bagi rafa’ pada dua tempat :
 1. Pada jama’ mudzakkar salim, dan
 2. Isim-isim yang lima yaitu أَبُوكَ, وَأَخُوكَ, وَحَمُوكَ, وَفُوكَ, وَذُو مَالٍ
Adapun alif, maka ia menjadi tanda bagi rafa’ pada isim-isim tatsniyyah yang tertentu
Adapun Nun maka ia menjadi tanda bagi rafa’ pada fi’il mudhari yang bersambung dengan dhamir tatsniyah, dhamir jama’, dan dhamir muannats mukhatabah.

 2. Bagi Nashab itu ada lima tanda, yaitu Fathah, alif, kasrah, ya, dan hadzfunnuun (membuang nun).
 Adapun fathah maka ia menjadi tanda bagi nashab pada tiga tempat :
 1. Pada Isim Mufrad
 2. Jama’ taksir, dan
 3. fi’il Mudhari apabila masuk atasnya amil yang menashobkan dan tidak bersambung di akhirnya dengan sesuatupun adapun alif, maka ia menjadi tanda bagi nashab pada isim-isim yang lima
contohnya : رَأَيْتُ أَبَاكَ وَأَخَاكَ (aku melihat bapakmu dan saudaramu)dan apa-apa yang menyerupai contoh ini. Adapun kasrah, maka ia menjadi tanda bagi nashab pada jama’ muannats salim
 Adapun ya, maka ia menjadi tanda bagi nashab pada tatsniyah dan jama’
Adapun Hadzfunnuun, maka ia menjadi tanda bagi nashab pada fi’il-fi’il yang lima yang ketika rafa’nya dengan tetap nun.

 3. Bagi Khafadh atau jar itu ada 3 tanda, yaitu kasrah, ya, dan fathah.
Adapun kasrah, maka ia menjadi tanda bagi khafadh pada tiga tempat:
1. Isim Mufrad yang menerima tanwin
2. jama’ taksir yang menerima tanwin, dan
3. jama’ muannats salim
adapun ya, maka ia menjadi tanda bagi khafadh pada tiga tempat:
 1. Pada isim-isim yang lima
2. Isim Tatsniyah, dan
 3. jama’
 adapun fathah, maka ia menjadi tanda bagi khafadh pada isim-isim yang tidak menerima tanwin.

 4. Bagi jazm itu ada 2 tanda, yaitu sukun dan al hadzfu (membuang).
Adapun sukun, maka ia menjadi tanda bagi jazm pada fi’il yang shahih akhirnya
 Adapun al hadzfu, maka ia menjadi tanda bagi jazm pada fi’il mudhari yang mu’tal akhirnya dan pada fi’il-fi’il yang ketika rafa’nya dengan tetap nun.

              Fashl (pasal) Yang di i'rab itu ada dua bagian :
 ada yang di i’rab dengan harkat (baris) dan
 ada yang di i’rab dengan huruf.

 Maka yang di i’rab dengan baris itu ada empat macam :
 1. Isim Mufrad
2. Jama’ taktsir
3. Jama’ muannats salim, dan
 4. Fi’il Mudhari’ yang tidak bersambung dengan akhirnya sesuatupun

                 Dan semuanya itu (yang di i’rab dengan baris) di rafa’kan dengan dhammah, dinashabkan dengan fathah, dan dijazmkan dengan sukun. Dan keluar dari itu tiga hal; jama’ muannats salim dinashabkan dengan kasrah, isim yang tidak menerima tanwin dijarkan (dikhafadhkan) dengan fathah dan fi’il mudhari’ yang mu’tal akhirnya dijazmkan dengan membuang akhirnya

 Yang dii’rab dengan huruf itu ada empat macam :
 1. Isim Tatsniyah
2. Jama’ mudzakkar salim
3. isim-isim yang lima, dan
4. fi’il-fiil yang lima, yaitu يفعلان وتفعلان ويفعلون وتفعلون وتفعلين

               Adapun isim tatsniyah, maka ia dirafa’kan dengan alif, dinashabkan dengan ya dan dijarkan dengan ya. Adapun jama’ mudzakkar salim, maka ia dirafa’kan dengan waw, dinashabkan dengan ya dan dijarkan dengan ya.

               Adapun Isim-isim yang lima, maka di rafa’kan dengan waw, dinashabkan dengan alif, dan dijarkan dengan ya. Adapun fi’il-fi’il yang lima, maka dirafa’kan dengan huruf nun, dan dinashabkan dan dijazamkan dengan membuang huruf nun.

Macam Macam Fiil

Kata kerja atau Kalimah F’il terbagi tiga:

 1. Fi’il Madhi –
            Kata kerja Bentuk Lampau: Kata kerja menunjukkan kejadian bentuk lampau, sebelum masa pembicara. Seperti قَرَأَ “Telah membaca”.
Tanda-tandanya adalah dapat menerima Ta’ Fa’il dan Ta’ Ta’nits Sakinah.
Seperti قَرَأْتُ “Aku telah membaca” dan قَرَاَتْ “Dia (seorang perempuan) telah membaca”.

 2. Fi’il Mudhori’ –
                   Kata kerja bentuk sedang atau akan: Kata kerja menunjukkan bentuk kejadian saat berlangsung atau akan berlangsung, di masa pembicara atau setelahnya. Dapat dipastikan kejadian itu terjadi saat berlangsung dengan dimasukkannya Lam Taukid dan Ma Nafi. Seperti:
 قَالَ إِنِّي لَيَحْزُنُنِي أَنْ تَذْهَبُوا بِهِ Berkata Ya’qub: “Sesungguhnya kepergian kamu bersama Yusuf amat menyedihkanku…
 وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ …Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati…

 Dapat dipastikan kejadian itu terjadi akan berlangsung dengan dimasukkannya س, سوف, لن, أن, ان.
Seperti:
 سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.
 وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya).
 قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَن تَرَانِي berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau.” Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku
 وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
 وَإِن يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللَّهُ كُلاًّ مِّن سَعَتِهِ Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya.

 Tanda-tanda Fi’il Mudhori’ adalah: bisa dimasuki لَمْ seperti contoh: لَمْ يَقْرَأْ artinya: tidak membaca
. Ciri-ciri Kalimah Fi’il Mudhari’ adalah dimulai dengan huruf Mudhoro’ah yang empat yaitu أ – ن – ي – ت disingkat menjadi أنيت.
 Huruf Mudhara’ah Hamzah dipakai untuk Mutakallim/pembicara/orang pertama tunggal/Aku.
 contoh أضرب
Huruf Mudhara’ah Nun dipakai untuk Mutakallim Ma’al Ghair/pembicara/orang pertama jamak/Kami. contoh نضرب
Huruf Mudhara’ah Ya’ dipakai untuk Ghaib Mudzakkar/orang ketiga male, tunggal, dual atau jamak/dia atau mereka. contoh يضرب, يضربان, يضوبون, يضربن
Huruf Mudhara’ah Ta’ dipakai untuk Mukhatab secara Mutlaq/orang kedua male atau female, juga dipakai untuk orang ketiga female tunggal dan dual. contoh تضرب, تضربا, تضربون , تضربين, تضربن 3.

 Fi’il Amar –
                 Kata kerja bentuk perintah : Kata kerja untuk memerintah sesuatu yang dihasilkan setelah masa pembicara.
 contoh: اقْرأْ = bacalah.
Tanda-tandanya adalah dapat menerima Nun Taukid beserta menunjukkan perintah.
 contoh اقْرَأَنَّ = sungguh bacalah.

macam macam isim

Pembagian Isim (kata benda) Isim ditinjau dari jenisnya :

 Isim Mudzakkar (مُـذَكَّـرٌ)
             Yaitu isim yang menunjukkan pada laki-laki atau yang dilaki-laki-kan.
 Misal: Bapak (أََبٌ); seorang lelaki (رَجُـلٌ); murid laki-laki (تِـلْمِـيْـذٌ) Pena (قَـلَـمٌ); buku (كِـتـاَبٌ).

 Isim Muannats (مُؤَنَّثٌ)
               Yaitu isim yang menunjukkan pada perempuan atau yang diperempuan-kan.
 Misal: Ibu (أُمٌّ) ; seorang wanita (اِمْـرَأَةٌ) ; murid wanita (تِلْمِـيْـذَةٌ); tangan (يَـدٌ) ; papan tulis (سَـبُوْرَةٌ) ; bumi (الأرْضُ)

 Catatan:
 Di antara tanda (ciri) bagi isim muannats :
Nama perempuan atau yang menunjukkan perempuan.
 Misal : Fatimah (فاتمة), ibu (أُمُّ) Adanya ta’ marbutoh (ة) Misal: Kebun (حَدِ يـْقَـةٌ) ; mobil (سَـيَّـارَةٌ) ; guru perempuan (مُدَرِّسَـةٌ) 
Ada juga beberapa isim muannats yang tidak memiliki tanda-tanda di atas.
 Misal : Tangan (يَـدٌ) ; telinga (أُذُنٌ) ; api (نَـارٌ) ; langit (السَـمَـاءُ); bumi (الأرْضُ) ; matahari (الشَـمْسُ) ; jiwa (نَفْـسٌ) ;dll.

 Isim ditinjau dari jumlahnya:

 Isim Mufrod (مُـفْـرَدٌ)
          Yaitu isim yang menunjukkan jumlah tunggal (satu), baik mudzakkar ataupun muannats. Misal: Seorang muslim (مُسْـلِـمٌ) ; seorang muslimah (مُسْـلِـمَـةٌ.

 Isim Mutsanna (مُـثَـنَّـى)
              Yaitu isim yang menunjukkan jumlah dua. Misal: Dua orang muslim (مُـسْـلِـمَانِ - مُسْــلِـمَـيْنِ) (muslimaani atau muslimaini); Dua orang muslimah (مُسْـلِـمَــتَـانِ - مُـسْلِـمَـتَـيْـنِ) (muslimataani atau muslimataini). Cara membuat isim mutsanna: “harokat akhir dari isim mufrod diganti fathah, kemudian akhir kata tersebut ditambahkan alif dan nun atau ya dan nun, dengan nun-nya dikashroh”

 Isim Jama' (جَمْعٌ)
                Yaitu Isim yang menunjukkan jumlah banyak (lebih dari dua): Jama' Mudzakkar Salim (جَـمْـعُ الـمُـذَكَّـر السَـالِـمُ) Misal: Para muslim (مُـسْلِـمُـوْنَ - مُـسْلِـمِـيْـنَ) (muslimuuna atau muslimiina) Cara membuat isim jama' mudzakkar salim: “akhir kata isim mufrod ditambahkan dengan wawu dan nun yang didahului oleh harokat dhommah atau dengan ya’ dan nun yang didahului oleh harokat kasroh, dengan nun berharokat fathah”


 Jama' Muannats Salim (جَـمْـعُ الـمُـؤَنَّـثِ السَـالِـمُ)
                 Misal: Para muslimah (مُـسْلِـمَـاتٌ - مُـسْـلِـمَـاتٍ) (muslimaatun atau muslimaatin) Cara membuat jama' muannats salim: “ta’ marbutoh pada isim mufrod muannats dihilangkan, kemudian harokat akhir dijadikan fathah, lalu ditambahi dengan alif dan ta’” Jama' Taksir (جَـمْـعُ التَـكْسِـيْـرِ) Misal : para lelaki (رِجَـالٌ), isim mufrodnya (رَجُـلٌ) para ulama (عُـلَـمَـاءُ), isim mufrodnya (عَالِـمٌ) buku-buku (كُـتُـبٌ), isim mufrodnya (كِتَـابٌ) gunung-gunung (جِـبَـالٌ), isim mufrodnya (جَـبَلٌ)

              Jama' taksir memiliki banyak pola dan tidak teratur, tidak seperti halnya jama' mudzakkar salim dan jama' muannats salim yang hanya memiliki satu pola. Untuk mengetahui jama' taksir suatu isim, maka sering-seringlah “melihat kamus”.

                Asmaaul khomsah (الأسْمَـاءُ الخَـمْـسَـةُ) / Isim-isim yang lima. Yaitu lima macam isim yang bentuk dan perubahannya sama, yaitu: أبُـوكَ - أبـَاكَ - أبـيـْكَ --> Bapakmu أخُـوكَ - أخـاكَ - أخِيـكَ --> Saudaramu حَـمُـوكَ - حـَمَـاكَ - حَـمـِيكَ --> Iparmu فـُوكَ - فـَاكَ - فِـيــكَ --> Mulutmu ذُو مـَال - ذَا مَـالٍ - ذِي مـَالٍ --> Yang memiliki harta. Isim Maqshur (المَـقْصُور) Yaitu isim yang berakhiran alim laazimah (ى), yang sebelumnya berharokat fathah. Misal: Pemuda (الفَـتَى), Petunjuk (الهُـدَى), Musa (مُـوسَى)

 Isim Manqush (المَنـْقُوص)
                 Yaitu isim yang berakhiran ya' laazimah (ي), yang sebelumya berharokat kasroh. Misal: Pemberi petunjuk (الهَـادِي), Hakim (القَـاضي), Pezina (الـزَانـِي)

 Isim Ghair Munsharif (غَيْر مُنْصَرِف)
                 Yaitu isim yang tidak bisa ditanwin di akhir katanya, Misal: Aisyah (عائِشَةُ), tidak bisa dibaca tanwin : (عائِشَةٌ) Ibrohim (إبراهيمُ), tidak bisa dibaca tanwin : (إبراهيمٌ) Masjid-masjid (مَسَاجِدُ), tidak bisa dibaca tanwin : (مَسَاجِدٌ)

pengertian kalam

PENGERTIAN KALAM

                Pengertian kalam (Indonesia : Kalimat) di sini adalah pengertian kalam dalam lingkup Ilmu Nahwu, yaitu dalam membahas tentang tata bahasa Arab. Kalam menurut beberapa 'Ulama Ahli Nahwu adalah sebagai berikut ; Dalam kitab al Jurumiyyah هُوَ اللَّفْظُ الْمُرَكَّبُ الْمُفِيدُ بِالْوَضْعِ Artinya : Kalam adalah lafadz yang tersusun yang berfaidah, diucapkan dalam bahasa Arab dan sesuai dengan kehendak.
                 Dalam kitab Alfiyah ibn Malik كَلامُنَا لَفْظٌ مُفِيدٌ كَاسْتَقِمْ Artinya : Kalam kita (Ahli Nahwu) adalah lafadz yang berfaidah seperti ucapan اسْتَقِمْ Pada dasarnya pengertian - pengertian kalam di atas adalah sama yaitu " Ucapan dengan bahasa Arab yang tersusun, berfaidah, dan sesuai kehendak/dikehendaki". Dalam kitab Al Fiyah Ibnu Malik kalam adalah seperti lafadz اسْتَقِمْ, karena lafadz tersebut sudah merupakan ucapan dengan bahasa Arab, tersusun dari dua kalimah yaitu lafadz اسْتَقِمْ dan انت (tersembunyi), serta memberi faidah, sehingga sesuai dengan pengertian yang diungkapkan dalam kitab al Jurumiyyah.

Berdasarkan pengertian di atas, kalam memiliki empat syarat yang harus dipenuhi, yaitu :
1. Lafadz (Ucapan)
2. Murakkab (Tersusun)
 3. Mufid (Berfaidah)
4. Wadha' (Dengan Bahasa Arab/dikehendaki) Lafadz (Ucapan)

                Lafadz adalah Suara yang keluar dari lisan manusia yang mencakup salah satu huruf hijaiyyah yang diawali Alif dan diakhiri ya. Contoh : زَيْدٌ ، قَامَ , Contoh tersebut disebut lafadz hanya jika diucapkan/bukan hanya tulisan saja. Isyarah dan suara - suara yang bisa menirukan suara manusia, seperti suara burung beo yang bisa mengucapkan Assalamu'alaikum adalah tidak termasuk lafadz, karena lafadz disyaratkan harus keluar dari lisan manusia, sehingga isyarah atau suara burung tidak termasuk kalam walaupun berfaidah.

               Murokab (Tersusun) Murokab adalah tersusunnya dua Kalimah (Indonesia : Kata) atau lebih. Contoh : اسْتَقِمْ tersusun dari lafadz اسْتَقِمْ dan انت الحمْدُ لِلهِ tersusun dari الحمْدُ ، لام، الله Jadi, kalimah yang hanya diucapkan satu kalimah saja tanpa disusun dengan kalimah lainnya tidaklah disebut kalam. Susunan kalimah (Murokab) dalam bahasa arab terbagi menjadi 4 macam :
1. Murokab Isnady, yaitu susunan kalimah yang salah satunya bersandar pada yang lain.
2. Murokab Idhofy, yaitu susunan kalimah yang menyebabkan tanwin kalimah yang awal hilang.
3. Murokab Majzi, yaitu susunan kalimah yang menyebabkan ta ta'nis kalimah yang awal hilang.
 4. Murokan Taqyidi, yaitu susunan kalimah yang menyebabkan adanya pembatasan pada kalimah yang awal.

              Mufid (Berfaidah) Mufid adalah adanya faidah yang baik bagi orang yang berbicara (Mutakallim) maupun bagi yang mendengarkan (Sami'). artinya kalam yang diucapkan telah dimengerti dan difahami oleh dua belah pihak (Mutakallim dan Sami'), sehingga antara keduanya tidak terjadi salah persepsi tentang apa yang telah diucapkan. contoh : إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan) jika hanya diucapkan إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ (Sesungguhnya sesudah kesulitan itu) maka tidak akan memberikan faidah, karena orang yang mendengar tidak akan memahami apa yang telah diucapkan. Sehingga, ucapan إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ tidak termasuk kalam walaupun sudah memenuhi persyaratan lafadz dan murokab.

                 Wadho Wadho secara bahasa/ etimologi adalah "Melunasi" atau "melahirkan". Wadho dalam pengertian Ahli Nahwu ada dua macam ;
1. Wadho adalah menjadikan ucapan untuk menunjukkan terhadap maknanya.
 Contoh : Memanggil/ menyebut Zaed terhadap orang yang namanya adalah Zaed, bukan misalnya kepada Ahmad. Wadho artinya harus menggunakan bahasa Arab, sehingga ucapan - ucapan yang bukan dalam bahasa Arab, walaupun sudah berfaidah tidak bisa dikatakan kalam.
2. Pengertian Wadho yang kedua adalah al Qoshdu artinya dikehendaki, disengaja, atau dalam keadaan sadar diri. Wadho jika menggunakan pengertian ini, maka ucapan orang yang sedang tidur atau orang yang yang mabuk berat bukanlah kalam, karena ucapannya tidak disengaja.